Sejarah
Asal-usul
alat musik tersebut belum begitu jelas. Jika melihat perjalanan sejarah
provinsi Riau, sejak dahulu sudah ditempati oleh orang-orang
Melayu pada masa kerajaan
Sriwijaya.
Orang Melayu tersebut menempati berbagai macam tempat di selat malaka.
Pembauran yang terjadi antara masyarakat melayu dengan suku bangsa
Padang,
Jawa,
Minangkabau,
Bugis,
Banjar dan
Batak
menyebabkan munculnya berbagai macam budaya termasuk di dalamnya
alat-alat musik. Akan tetapi, ada suatu pendapat bahwa alat musik ini
berasal dari
India karena mirip dengan alat musik untuk memainkan
ular. Selain itu ada juga pendapat bahwa alat ini berasal dari daerah
Timur Tengah karena adanya kemiripan nama yaitu
naifr.
Pada zaman kerajaan-kerajaan, nafiri merupakan salah satu alat yang
penting untuk digunakan pada acara penobatan raja selain sebagai alat
musik di istana. Pada kerajaan melayu dulu alat pusaka
Nobat seperti nafiri,
gendang, sirih esar, dan cogan merupakan lambang negara atau yang biasa disebut dengan
regelia kerajaan
yang dijadikan sebagai kekuatan spiritual dan kehormatan kerajaan
bersama dengan adat istiadat. Tanpa adanya alat-alat tersebut penobatan
seorang raja tidak dapat disahkan. Ada kepercayaan pada zaman dahulu
jika kedua kekuatan spiritual tersebut rusak maka akan hancur dan
runtuhlah harkat dan harga diri bangsa tersebut. Bagi Kerajaan Kerajaan
Melayu di rantau itu, sebuah kerajaan boleh saja ditaklukan, direbut,
dan dikuasai oleh pihak lain. Raja atau sultannya bisa saja terusir dan
melarikan diri ke negara atau daerah lain, mencari perlindungan. Tetapi,
jika Regelia Kerajaan tidak dirampas dan tidak direbut, selagi Regelia
sakti dan keramat itu masih dipegang oleh rajanya, maka kedaulatan
negeri itu masih tegak. Sultannya tetap punya kedaulatan, dan dia bisa
mendirikan kerajaan di mana saja, dan dijadikan raja di mana saja.
Karena alat-alat yang dianggap memiliki kesaktian itu, belum
ditaklukkan. Karena itulah, siapapun yang memegang dan diberi tugas
menjaga Regelia itu, adalah seorang yang kuat dan perkasa. Seseorang
yang memiliki kekuasaan jauh di atas kekuasaan lain, termasuk sultannya
sendiri. Biasanya orang tersebut merupakan penasihat raja. Di Kedah
nafiri bersama dengan alat-alat musik nobat lainnya disimpan di dalam
sebuah tempat yang bernama
Balai Nobat. Balai Nobat sendiri merupakan bangunan yang khas dengan arsitektur
Islam.
Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kubah di atasnya. Bangunan ini
telah seringkali direnovasi terutama pada zaman pemerintahan Sultan
kedah yang ke-25 yaitu
Sultan Ahmad Tajuddin Mukarram Shah
yang telah menduduki takhta mulai tahun 1854 hingga 1879. Nobat berasal
dari Kata Persia ‘Naubat” yang berarti sembilan instrumen. Nobat
merupakan orkestra musik kerajaan yang digunakan terutama untuk
penobatan raja, bangsawan serta penyambutan tamu istimewa. Para
pemainnya disebut dengan
Orang Nobat. Nobat juga dimainkan
bersama dengan perayaan-perayaan suci lainnya seperti kematian. Ada
sebuah kepercayaan bahwa nobat berasal tradisi India yang ditularkan
oleh para pedagang yang saat itu singgah di selat Malaka.
Pada zaman kerajaan dulu, nafiri digunakan sebagai alat untuk
menyatakan peperangan terhadap kerajaan lain. Selain itu juga, nafiri
digunakan untuk memberitakan tentang kematian raja, diangkatnya raja.
Alat ini juga digunakan untuk mengumpulkan rakyat, agar mereka segera
datang ke alun-alun istana untuk mendengarkan berita atau pengumuman
dari rakyat mereka. Oleh karena itu, alat ini dijadikan sebagai barang
pusaka kerajaan.
Di
Malaysia
kita juga akan menemukan alat musik yang disebut dengan nafiri walaupun
dengan bentuk yang sedikit berbeda. Di negara tersebut alat musik ini
dapat kita jumpai untuk mengiringi lagu-lagu daerah dan juga upacara
adat. Kita dapat melihat alat ini pada
orkestra nobat
di Malaysia. Alat musik ini juga digunakan untuk penobatan gelar
kebangsawanan. Salah satu orang yang pernah mendapatkan gelar kehormatan
Adat di Riau adalah sultan
Hamengku Buwono X.
Ketika penobatannya berlangsung suara Nafiri bersama dengan Alat musik
tradisional lainnya mengiringi acara tersebut di depan sidang Majelis
Perapatan Adat Melayu. Alat-alat tersebut digunakan sebagai penanda
diangkatnya seseorang sebagai bangsawan. Saat ini fungsi nafiri menjadi
lebih berkurang karena hanya digunakan pada acara-acara kerajaan atau
perayaan-perayaan yang dilakukan oleh masyarakat melayu.
Menurut kepercayaan orang Melayu Riau, ketika memainkan alat musik
ini para pemainnya dirasuki oleh para dewa, mambang, dan peri. Sehingga
seolah-olah mereka menyampaikan pesan akan terjadinya bahaya atau
kejadian penting lainnya. Oleh karena itu, sebelum ditiup alat musik ini
perlu
dipusung yaitu diasapi di atas pedupaan. Nafiri ditiup
dengan aliran udara yang tidak terputus selama dua atau tiga jam. Pemain
Nafiri harus orang yang memiliki napas panjang, sehat badannya, dan
memiliki teknik khusus sehingga tidak putus tiupannya. Nafiri ditiup
hanya dengan tangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang
bagian bawahnya.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Nafiri