Alat musik talempong terdiri dari 3 (tiga) kata yang memiliki arti dan makna masing-masingnya. Alat dalam
hal ini dimaknai suatu benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu;
perkakas, perabot, yang dipakai untuk mencapai maksud.[1] Kata Musik diartikan
sebagai ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi,
dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang
mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Nada atau suara yang disusun
demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan
(terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan
bunyi-bunyian).[2] Dari sudut memainkannya secara umum dikenal alat musik tiup , alat musik pukul, alat musik petik alat musik gesek. Kemudian Talempong adalah alat musik pukul tradisional khas Minangkabau. Alat musik talempong ini bernada diatonis (do, ro mi, fa, so, la, si, do).[3] Bentuk talempong hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan.
Talempong berbentuk lingkaran dengan diameter 15
sampai 17,5 centimeter, pada bagian bawahnya berlubang sedangkan pada
bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima
sentimeter sebagai sasaran dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyinya dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.[4]
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Untuk memainkannya butuh kejelian dimulai dengan tangga nada do dan diakhiri dengan si dengan akord serupa dengan memainkan piano.[5]
Talempong terbuat dari bahan kuningan sebagaimana beredar dan digunakan secara umum ditengah masyarakat kesenian. Namun ada pula talempong terbuat dari kayu dan batu. Tidak
lazim dan terbilang langka memang, talempong dibuat dari sejenis
bebatuan dengan jumlah jumlah 6 (enam) buah seperti halnya yang
terdapat di 38 Km arah utara kota Payakumbuh dan 47 Km dari Sarilamak
kabupaten 50 Kota. Talempong berbahan batu ini menurut masyarakat sudah
sudah ada sejak dahulunya.[6]
Sawahlunto memberikan daftar inventaris jenis talempong dengan bahan bambu, yang lebih dikenal dengan talempong batuang.
Sepertinya hal talempong batu di Payakumbuh dan 50 kota yang unik.
Talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto juga merupakan jenis
talempong yang unik dan cukup langka keberadaannya ditengah masyarakat.
Sejauh data lapangan yang diperoleh, saat ini hanya 1 (satu) orang atau
keluarga yang menekuni pembuatan sampai memainkan alat musik yang
disebut talempong batuang ini.
Bahkan bapak Umar dimasa lalu menyandingkan talempong batuang dengan tradisi dan kesenian marunguih di
nagari Silungkang Kota Sawahlunto. Tradisi dan kesenian marunguih
sendiri beberapa puluh tahun belakangan pun akhirnya tenggalam dan
hilang ditengah masyarakat Silungkang. Hingga saat sekarang marunguih
kembali hanya bisa dilakoni oleh bapak Umar dalam bentuk kesenian.
Marunguih sendiri menurut cerita masyarakat adalah tradisi maratok Silungkang tuo.
Kembali
ke persoalan talempong batuang. Sebagai bagian dari kesenian, alat
musik talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto sudah berada di
ambang kepunahan. Indikasi nyata adalah minimnya sumber daya yang mampu
membuat, memiliki, memainkan talempong batuang saat sekarang. Persoalan
lain barangkali karena alat musik talempong batuang itu sendiri tidak
memiliki nada standar sebagaimana dikenal umum dengan nada diatonis (do,
re, mi, fa, so, la, si, do). Talempong batuang diketahui hanya
memiliki nada tradisi dengan jumlah 5 (do, re, mi, fa, so) sampai 6 (do, re, mi, fa, so, la)
nada saja. Hal itu tentu tidak lazim dalam pengetahuan umum sekarang.
Sehingga diperlukan pengetahuan dan kemampuan khusus agar dapat
memainkannya.
Pengkajian dan Organologi Akustika:
Langkah Awal Pengembangan Talempong Batuang Sawahlunto
Pak Umar sedang memproses bambu untuk membuat Talempong Batuang |
Berangkat
dari kondisi itu pula, mengingat potensi, kelangkaan dan keunikan
talempong batuang. Diperlukan kiranya sebuah upaya untuk melestarikan,
memperkenalkan, memasyarakat talempong batuang. Sebagai salah satu
upaya, yang dilakukan adalah melakukan Pengkajian dan Organologi Akustika.
Langkah kerjasama ini ditempuh antara seniman, pemerintah, tenaga
profesional dari kalangan akeademisi perguruan tinggi terkait, pemerhati
seni dan budaya. Melalui hasil kajian ini diharapkan talempong batuang
dapat di standarisasi nada sehingga mencapai nada (do, re, mi, fa, so,
la, si, do) sebagaimana banyak dipahami saat sekarang.
Dengan
demikian eksistensi talempong batuang tetap terjaga, juga dapat
memberikan warna bagi perkembangan musik tradisional Sawahlunto.
Harapannya adalah talempong batuang sejajar dengan musik tradisional
lainnya. Mudah, dipahami, dipelajari, dimainkan dan bisa disandingkan
dengan alat musik lainnya (kolaborasi). Lebih jauh tentu talempong
batuang dapat berkontribusi dalam konteks kesenian dalam ilmu
pengetahuan dan kepariwisataan Sawahlunto.
Sebagai
langkah awal, di tahun 2012 Pemerintah Kota Sawahlunto melalui Bidang
Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto bekerjasama
dengan tenaga ahli untuk melakukan pengkajian talempong batuang. Sejak
Februari 2012 proses kerjasama sudah dimulai. Dengan tidak membuang
banyak waktu dan kesempatan ini pada tanggal 29 Februari 2012, tepatnya
hari Rabu sekitar pukul 10.00 WIB. Secara bersama-sama tim Bidang
Kebudayaan dengan Bapak Drs. Hajizar, M. Sn beserta tim dari Jurusan
Karawitan ISI Padangpanjang menjambangi kediaman Bapak Umar Malin
Parmato seniman talempong batuang.
Dusun
Sungai Cacang di Desa Silungkang Oso Kecamatan Silungkang Kota
Sawahlunto, disanalah pak Umar bermukim. Sebuah tempat yang bertengger
di ketinggian perbukitan. Keindahan, udara segarnya, suasana alamnya,
jangan ditanya ? Anda mesti coba. Daerah ini dikenal juga disebut dengan
puncak mikrowave. Untuk mencapainya sedikit memicu adrenalin,
jalanan aspal/beton yang melulu mendaki dan menurun, cukup terjal.
Persiapankan energi, kondisi kendaraan yang cukup sehat agar perjalanan
tidak terkendala dan mengundang bahaya mesti dipersiapkan.
Kami
mesti menyinggahi pak Umar yang akan melaksanakan rapat dikantor desa.
Dengan motor tuanya pak Umar meninggalkan kantor Desa, kemudian
mengiringi kami menuju kediaman beliau. Setelah mobil yang kami kendarai
dipaksa meraung-raung dengan parseneling rendah mendaki bukit-bukit
terjal, sekitar pukul 10 WIB kami sampai dirumah sederhana keluarga pak
Umar. Lega rasanya melewati tantangan alam, bahagia bertemu hingga
sampai ke rumah seniman talempong batuang ini.
Istirahat
sejenak setelah memarkirkan kendaraan dihalaman rumah seorang tetangga
pak Umar. Pembicaraan dibuka, menindaklanjuti maksud yang telah
diutarakan pada hari-hari sebelumnya. Untuk segala efektifitas, kami
meminta rangkaian pekerjaan disepakati untuk dimulai saja. Pak Umar pun
memahami dan memenuhi permintaan kami. Baju batik warna coklat dengan
paduan warna putih untuk rapat dikantor desa pun diganti dengan baju
kerja. Itu pertanda proses pengajian untuk organologi akustika talempong
batuang yang akan dilakukan bersama tim ahli segera berjalan.
Pak
Umar mempersiapkan segala peralatan golok, gergaji, pisau, korek api,
sabut kelapa, palu. Langkah awal kami mesti mengikuti pak Umar menuju
hutan kecil tempat tumbuh rumpun-rumpun bambu yang jenisnya biasa beliau
gunakan untuk pembuatan talempong batuang. Pemilihan jenis dan bagian
bambu (batuang) yang digunakan mutlak dilakukan. Karena banyak
mempengaruhi bunyi ketahanan fisik talempong batuang nantinya. Semua
tahapan proses di dokumentasikan secara visual dan audio visual,
demikian juga dengan pencatatan.
Dipaparkan
oleh pak Umar, bambu sebaiknya dipilih bambu yang sudah tua. Dengan
tanda-tanda daun bambu sedang atau akan gugur bukan setelah gugur. Kalau
setelah gugur bambu kembali sama dengan muda karena kandungan air
kembali naik. Dan berikutnya bambu tidak diambil dalam masa bulan besar
atau terang bulan. Artinya bambu diambil dalam masa bulan gelap antara
bulan berumur 20 (setelah purnama) sampai 10 hari (menjelang terang
bulan/purnama). Tidak dijelaskan secara ilmiah apa kaitan usia bulan
dengan tumbuhan bambu atau lainnya. Hal itu dapat kita pahami karena pak
Umar bukanlah ahli ilmu astronomi, perbintangan atau falaq. Pengalaman
itu barangkali sudah beliau pelajari secara alamiah dan dari
gejala-gejala yang dipahami, ‘alam takambang jadi guru’ ini yang dapat kita pelajari dari beliau.
Dari rumpun bambu, rombongan kembali ke ‘istana talempong batuang’
pak Umar. Kami siap mengikuti proses selanjutnya. Bambu-bambu
dibersihkan dengan dicuci air dan sikat dengan sabut kulit kelapa.
Tujuannya tentu miang yang menyebabkan kulit bisa gatal dan
perih, kotoran yang menempel hilang. Pertanyaan kami apa tidak perlu
bambu dikeringkan dan diawetkan dulu? Tentu ada baiknya bambu perlu
pengolahan pengawetan baik secara alamiah dan secara kimiawi agar
terhindar gangguan penyebab rusaknya bambu secara fisik dalam waktu
singkat. Tapi bagi pak Umar punya filosofi dalam pemilihan jenis dan
bagian bambu yang akan dipakai secara alamiah sudah menjawab pertanyaan
itu. Kalau mau lebih lagi, sah-sah saja melakukan pengawetan dengan
merendam di air mengalir atau lumpur, pengapuran, bahan kimia anti
serangga dan sebagainya.
Tapi
untuk saat ini, bagi kami yang utama ingin mendapatkan dulu seluruh
rangkaian dan proses bagaimana bapak Umar menjadikan bambu alat musik
talempong batuang dengan segala pengetahuan, aplikasi dalam bentuk
pengerjaan tahap demi tahap. Setelah bambu dikeringkan, kami mengikuti
pak Umar memulai pekerjaan membuat talempong batuang. Tangan dan
jari-jari tuanya penuh ketelitian menorehkan pisau mencongkel. Kira-kira
lebar satu senti meter dengan mahir pak Umar mencongkel sembilu yang
membawa sedikit daging bambu hingga menghasilkan strip antara batas ruas
ke ruas bambu. Dengan hati dan hati-hati strip tidak boleh terputus,
satu persatu strip itu diselesaikan. Bagian pinggir strip yang memiliki
sembilu tajam di tumpulkan diraut pisau cutter yang cukup tajam
hingga sembilu tumpul tidak lagi dapat melukai saat dipegang atau
memainkan. Sementara serat-serat halus yang masih tertinggal, pak Umar
membakarnya dengan korek api kayu. Agar strip memiliki ruang jarak
dengan badan bambu, pak Umar memasang penyangga dari potong-potongan
kecil bambu yang sudah dibentuk sedimikian rupa. Penyangga sekaligus
sebagai alat penyetel nada yang dihasilkan. Belum selesai sampai disitu,
bambu yang sudah menghasil 5-6 strip itu pada salah satu ujung ruas
kemudian akan dibelah hingga sebelum ruas satunya. Membelah setengah ini
hanya untuk menghasilkan bunyi yang lebih keras dan baik dengan nada
yang diharapkan. Jarak garis belahpun diperhitungkan tidak terlalu
mendekati strip bunyi. Juga tidak bisa terlalu jauh ibuhnya. Sebab hal
itu sangat mempengaruhi bunyi. Tidak boleh melewati karena akan membuat
ruas talempong batuang benar-benar akan terbelah menjadi dua bagian.
Pak Umar Seniman Talempong Batuang di Sei.Cacang Silungkang Oso Sawahlunto
sedang memainkan alat musik tradisi
talempong batuang
|
Bukan sekedar bermimpi, kelak talempong batuang tidak lagi tampil solo tapi
mampu diperbersandingkan atau berkolaborasi dengan alat musik lainnya
dalam sebuah pertunjukan musik atau sebagai musik pengiring. Angklung
dapat menjadi pelajaran, bagaimana musik tradisi mampu go internasional dan menjadi warisan yang diakui UNESCO. Setidak-setidaknya talempong batuang dapat menjadi sebuah ansamble segala
alat musik dengan bahan-bahan dasar bambu. Dapat kita bayangkan kelak
talempong batuang dengan rumpun alat musik bambu seperti saluang,
suling, sarunai angklung berkolaborasi juga alat musik bambu lainnya.
Hal
itu tentu tidak terjadi dengan sendirinya, atau dengan bapak Umar saja
dengan basic tradisinya. Semua komponen mesti berkolaborasi, seniman,
pemerintah, ahli, akademisi di perguruan tinggi, baik pun swasta langkah
awal menuju musik global talempong batuang itu sedang dimulai. Dukungan
dan penuh kepedulian mesti terus mengalir. Tanpa itu semua,
keintegrasian segala sumber daya, langkah selanjutnya juga tidak akan
berarti banyak. Semua mesti saling mengambil peran. Kolaborasi semua
unsur tentu akan menyelaraskan dan menghasilkan simponi dan melodi yang
indah untuk sejarah perkembangan dan nilai alat dan musik talempong
batuang. Perkembangan dunia pariwisata Sawahlunto sendiri akan terwarnai
dengan sendirinya. Menggadangkan segala potensi adalah pekerjaan rumah kita, tanpa melihat besar kecilnya.Wallahu ‘alam.
sumber:http://teraszaman.blogspot.co.id/2012/03/langkah-awal-pengembangan-talempong.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar