Senin, 28 November 2016

Langkah awal pengembangan alat musik tradisional talempong .

Alat musik talempong terdiri dari 3 (tiga) kata yang memiliki arti dan makna masing-masingnya. Alat dalam hal ini dimaknai suatu benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu; perkakas, perabot, yang dipakai untuk mencapai maksud.[1] Kata Musik diartikan sebagai ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian).[2] Dari sudut memainkannya secara umum dikenal alat musik tiup , alat musik pukul,  alat musik petik alat musik gesek. Kemudian Talempong adalah alat musik pukul tradisional khas Minangkabau. Alat musik talempong ini bernada diatonis (do, ro mi, fa, so, la, si, do).[3] Bentuk talempong hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan.
Talempong berbentuk lingkaran dengan diameter 15 sampai 17,5 centimeter, pada bagian bawahnya berlubang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai sasaran dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyinya dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.[4]
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Untuk memainkannya butuh kejelian dimulai dengan tangga nada do dan diakhiri dengan si dengan akord  serupa dengan memainkan piano.[5]
Talempong terbuat dari bahan kuningan sebagaimana beredar dan digunakan secara umum ditengah masyarakat kesenian. Namun ada pula talempong terbuat dari kayu dan batuTidak lazim dan terbilang langka memang, talempong dibuat dari sejenis bebatuan dengan jumlah jumlah 6 (enam) buah seperti halnya yang terdapat  di 38 Km arah utara kota Payakumbuh dan 47 Km dari Sarilamak kabupaten 50 Kota. Talempong berbahan batu ini menurut masyarakat sudah sudah ada sejak dahulunya.[6]
Sawahlunto memberikan daftar inventaris jenis talempong dengan bahan bambu, yang lebih dikenal dengan talempong batuang. Sepertinya hal talempong batu di Payakumbuh dan 50 kota yang unik. Talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto juga merupakan jenis talempong yang unik dan cukup langka keberadaannya ditengah masyarakat. Sejauh data lapangan yang diperoleh, saat ini hanya 1 (satu) orang atau keluarga yang menekuni pembuatan sampai memainkan alat musik yang disebut talempong batuang ini.
Bahkan bapak Umar dimasa lalu menyandingkan talempong batuang dengan tradisi dan kesenian marunguih di nagari Silungkang Kota Sawahlunto. Tradisi dan kesenian marunguih sendiri beberapa puluh tahun belakangan pun akhirnya tenggalam dan hilang ditengah masyarakat Silungkang. Hingga saat sekarang marunguih kembali hanya bisa dilakoni oleh bapak Umar dalam bentuk kesenian. Marunguih sendiri menurut cerita masyarakat adalah tradisi maratok Silungkang tuo.
Kembali ke persoalan talempong batuang. Sebagai bagian dari kesenian, alat musik talempong batuang yang terdapat di Sawahlunto sudah berada di ambang kepunahan. Indikasi nyata adalah minimnya sumber daya yang mampu membuat, memiliki, memainkan talempong batuang saat sekarang. Persoalan lain barangkali karena alat musik talempong batuang itu sendiri tidak memiliki nada standar sebagaimana dikenal umum dengan nada diatonis (do, re, mi, fa, so, la, si, do). Talempong batuang diketahui hanya memiliki nada tradisi dengan jumlah 5 (do, re, mi, fa, so) sampai 6 (do, re, mi, fa, so, la) nada saja. Hal itu tentu tidak lazim dalam pengetahuan umum sekarang. Sehingga diperlukan pengetahuan dan kemampuan khusus agar dapat memainkannya.

Pengkajian dan Organologi Akustika:
Langkah Awal Pengembangan Talempong Batuang Sawahlunto

Pak Umar sedang memproses bambu
untuk membuat Talempong Batuang
Berangkat dari kondisi itu pula, mengingat potensi, kelangkaan dan keunikan talempong batuang. Diperlukan kiranya sebuah upaya untuk melestarikan, memperkenalkan, memasyarakat talempong batuang. Sebagai salah satu upaya,  yang dilakukan adalah melakukan Pengkajian dan Organologi Akustika. Langkah kerjasama ini ditempuh antara seniman, pemerintah, tenaga profesional dari kalangan akeademisi perguruan tinggi terkait, pemerhati seni dan budaya. Melalui hasil kajian ini diharapkan talempong batuang dapat di standarisasi nada  sehingga mencapai nada (do, re, mi, fa, so, la, si, do) sebagaimana banyak dipahami saat sekarang.
Dengan demikian eksistensi talempong batuang tetap terjaga, juga dapat memberikan warna bagi perkembangan musik tradisional Sawahlunto. Harapannya adalah talempong batuang sejajar dengan musik tradisional lainnya. Mudah, dipahami, dipelajari, dimainkan dan bisa disandingkan dengan alat musik lainnya (kolaborasi). Lebih jauh tentu talempong batuang dapat berkontribusi dalam konteks kesenian dalam ilmu pengetahuan dan kepariwisataan Sawahlunto.
Sebagai langkah awal, di tahun 2012 Pemerintah Kota Sawahlunto melalui Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto bekerjasama dengan tenaga ahli untuk melakukan pengkajian talempong batuang. Sejak Februari 2012 proses kerjasama sudah dimulai. Dengan tidak membuang banyak waktu dan kesempatan ini pada tanggal 29 Februari 2012, tepatnya hari Rabu sekitar pukul 10.00 WIB. Secara bersama-sama tim Bidang Kebudayaan dengan Bapak Drs. Hajizar, M. Sn beserta tim dari Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang menjambangi kediaman Bapak Umar Malin Parmato seniman talempong batuang.
Dusun Sungai Cacang di Desa Silungkang Oso Kecamatan Silungkang Kota Sawahlunto, disanalah pak Umar bermukim. Sebuah tempat yang bertengger di ketinggian perbukitan. Keindahan, udara segarnya, suasana alamnya, jangan ditanya ? Anda mesti coba. Daerah ini dikenal juga disebut dengan puncak mikrowave. Untuk mencapainya sedikit memicu adrenalin, jalanan aspal/beton yang melulu mendaki dan menurun, cukup terjal. Persiapankan energi, kondisi kendaraan yang cukup sehat agar  perjalanan tidak terkendala dan mengundang bahaya mesti dipersiapkan.
Kami mesti menyinggahi pak Umar yang akan melaksanakan rapat dikantor desa. Dengan motor tuanya pak Umar meninggalkan kantor Desa, kemudian mengiringi kami menuju kediaman beliau. Setelah mobil yang kami kendarai dipaksa meraung-raung dengan parseneling rendah mendaki bukit-bukit terjal, sekitar pukul 10 WIB kami sampai dirumah sederhana keluarga pak Umar. Lega rasanya melewati tantangan alam, bahagia bertemu hingga sampai ke rumah seniman talempong batuang ini.
Istirahat sejenak setelah memarkirkan kendaraan dihalaman rumah seorang tetangga pak Umar. Pembicaraan dibuka, menindaklanjuti maksud yang telah diutarakan pada hari-hari sebelumnya. Untuk segala efektifitas, kami meminta rangkaian pekerjaan disepakati untuk dimulai saja. Pak Umar pun memahami dan memenuhi permintaan kami. Baju batik warna coklat dengan paduan warna putih untuk rapat dikantor desa pun diganti dengan baju kerja. Itu pertanda proses pengajian untuk organologi akustika talempong batuang yang akan dilakukan bersama tim ahli segera berjalan.
Pak Umar mempersiapkan segala peralatan golok, gergaji, pisau, korek api, sabut kelapa, palu. Langkah awal kami mesti mengikuti pak Umar menuju hutan kecil tempat tumbuh rumpun-rumpun bambu yang jenisnya biasa beliau gunakan untuk pembuatan talempong batuang. Pemilihan jenis dan bagian bambu (batuang) yang digunakan mutlak dilakukan. Karena banyak mempengaruhi bunyi ketahanan fisik talempong batuang nantinya. Semua tahapan proses di dokumentasikan secara visual dan audio visual, demikian juga dengan pencatatan.
Dipaparkan oleh pak Umar, bambu sebaiknya dipilih bambu yang sudah tua. Dengan tanda-tanda daun bambu sedang atau akan gugur bukan setelah gugur. Kalau setelah gugur bambu kembali sama dengan muda karena kandungan air kembali naik. Dan berikutnya bambu tidak diambil dalam masa bulan besar atau terang bulan. Artinya bambu diambil dalam masa bulan gelap antara bulan berumur 20 (setelah purnama) sampai 10 hari (menjelang terang bulan/purnama). Tidak dijelaskan secara ilmiah apa kaitan usia bulan dengan tumbuhan bambu atau lainnya. Hal itu dapat kita pahami karena pak Umar bukanlah ahli ilmu astronomi, perbintangan atau falaq. Pengalaman itu barangkali sudah beliau pelajari secara alamiah dan dari gejala-gejala yang dipahami, ‘alam takambang jadi guru’ ini yang dapat kita pelajari dari beliau.
Dari rumpun bambu, rombongan kembali ke istana talempong batuang pak Umar. Kami siap mengikuti proses selanjutnya. Bambu-bambu dibersihkan dengan dicuci air dan sikat dengan sabut kulit kelapa. Tujuannya tentu miang yang menyebabkan kulit bisa gatal dan perih, kotoran yang menempel hilang. Pertanyaan kami apa tidak perlu bambu dikeringkan dan diawetkan dulu? Tentu ada baiknya bambu perlu pengolahan pengawetan baik secara alamiah dan secara kimiawi agar terhindar gangguan penyebab rusaknya bambu secara fisik dalam waktu singkat. Tapi bagi pak Umar punya filosofi dalam pemilihan jenis dan bagian bambu yang akan dipakai secara alamiah sudah menjawab pertanyaan itu. Kalau mau lebih lagi, sah-sah saja melakukan pengawetan dengan merendam di air mengalir atau lumpur, pengapuran, bahan kimia anti serangga dan sebagainya.
Tapi untuk saat ini, bagi kami yang utama ingin mendapatkan dulu seluruh rangkaian dan proses bagaimana bapak Umar menjadikan bambu alat musik talempong batuang dengan segala pengetahuan, aplikasi dalam bentuk pengerjaan tahap demi tahap. Setelah bambu dikeringkan, kami mengikuti pak Umar memulai pekerjaan membuat talempong batuang. Tangan dan jari-jari tuanya penuh ketelitian menorehkan pisau mencongkel. Kira-kira lebar satu senti meter dengan mahir pak Umar mencongkel sembilu yang membawa sedikit daging bambu hingga menghasilkan strip antara batas ruas ke ruas bambu. Dengan hati dan hati-hati strip tidak boleh terputus, satu persatu strip itu diselesaikan. Bagian pinggir strip yang memiliki sembilu tajam di tumpulkan diraut pisau cutter yang cukup tajam hingga sembilu tumpul tidak lagi dapat melukai saat dipegang atau memainkan. Sementara serat-serat halus yang masih tertinggal, pak Umar membakarnya dengan korek api kayu. Agar strip memiliki ruang jarak dengan badan bambu, pak Umar memasang penyangga dari potong-potongan kecil bambu yang sudah dibentuk sedimikian rupa. Penyangga sekaligus sebagai alat penyetel nada yang dihasilkan. Belum selesai sampai disitu, bambu yang sudah menghasil 5-6 strip itu pada salah satu ujung ruas kemudian akan dibelah hingga sebelum ruas satunya. Membelah setengah ini hanya untuk menghasilkan bunyi yang lebih keras dan baik dengan nada yang diharapkan. Jarak garis belahpun diperhitungkan tidak terlalu mendekati strip bunyi. Juga tidak bisa terlalu jauh ibuhnya. Sebab hal itu sangat mempengaruhi bunyi. Tidak boleh melewati karena akan membuat ruas talempong batuang benar-benar akan terbelah menjadi dua bagian.
Pak Umar Seniman Talempong Batuang
di Sei.Cacang Silungkang Oso Sawahlunto
sedang  memainkan alat musik tradisi
talempong batuang
Semua keterangan, semua proses kerja dicatat, didokumentasikan secara visual dan audiovisual data base untuk pengkajian secara organologi akustika. Dari kajian itu nanti kita mengharapkan lahir berbagai rekomendasi potensi untuk dasar pengembangan talempong batuang sehingga menghasilkan nada setara dengan nada diatonis. Dengan demikian talempong batuang punya alternatif-alternatif untuk dimainkan baik secara tradisi seperti saat adanya sekarang dan setelah pengembangan dengan modifikasi-modifikasi sesuai hasil kajian dan yang direkomendasikannya.
Bukan sekedar bermimpi, kelak talempong batuang tidak lagi tampil solo tapi mampu diperbersandingkan atau berkolaborasi dengan alat musik lainnya dalam sebuah pertunjukan musik atau sebagai musik pengiring. Angklung dapat menjadi pelajaran, bagaimana musik tradisi mampu go internasional dan menjadi warisan yang diakui UNESCO. Setidak-setidaknya talempong batuang dapat menjadi sebuah ansamble segala alat musik dengan bahan-bahan dasar bambu. Dapat kita bayangkan kelak talempong batuang dengan rumpun alat musik bambu seperti saluang, suling, sarunai angklung berkolaborasi juga alat musik bambu lainnya.
Hal itu tentu tidak terjadi dengan sendirinya, atau dengan bapak Umar saja dengan basic tradisinya. Semua komponen mesti berkolaborasi, seniman, pemerintah, ahli, akademisi di perguruan tinggi, baik pun swasta langkah awal menuju musik global talempong batuang itu sedang dimulai. Dukungan dan penuh kepedulian mesti terus mengalir. Tanpa itu semua, keintegrasian segala sumber daya, langkah selanjutnya juga tidak akan berarti banyak. Semua mesti saling mengambil peran. Kolaborasi semua unsur tentu akan menyelaraskan dan menghasilkan simponi dan melodi yang indah untuk sejarah perkembangan dan nilai alat dan musik talempong batuang. Perkembangan dunia pariwisata Sawahlunto sendiri akan terwarnai dengan sendirinya. Menggadangkan segala potensi adalah pekerjaan rumah kita, tanpa melihat besar kecilnya.Wallahu ‘alam.





sumber:http://teraszaman.blogspot.co.id/2012/03/langkah-awal-pengembangan-talempong.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar